Ayah Ada Tapi Tak Hadir: Menyikapi Fenomena Fatherless di Indonesia
Panoramic. Fenomena fatherless atau ketidakhadiran sosok ayah secara emosional kini menjadi persoalan sosial yang cukup serius di Indonesia. Meski ayah ada secara fisik, banyak anak tumbuh tanpa kehangatan, dukungan, dan kedekatan emosional dari figur ayah. Hal ini sering terjadi karena kesibukan bekerja, tekanan ekonomi, hingga pandangan tradisional bahwa tugas ayah hanya mencari nafkah.
Padahal, peran ayah jauh lebih luas dari sekadar penyedia kebutuhan materi. Ayah adalah panutan, pelindung, dan penguat karakter anak. Tanpa kehadiran emosional ayah, anak cenderung mengalami krisis identitas, kesulitan mengontrol emosi, bahkan rentan terhadap masalah perilaku dan sosial di kemudian hari. Riset menunjukkan bahwa anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah lebih berisiko mengalami masalah psikologis seperti rendahnya kepercayaan diri dan kesulitan beradaptasi secara sosial.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kesadaran baru tentang pentingnya father engagement. Ayah tidak harus punya banyak waktu, tapi perlu hadir dengan kualitas interaksi yang baik. Luangkan waktu setiap hari, walau hanya 10–15 menit, untuk mendengarkan cerita anak tanpa gangguan gawai. Ajak anak melakukan kegiatan sederhana seperti makan malam bersama, bermain, atau membaca buku sebelum tidur.
Selain itu, penting bagi ayah untuk mengekspresikan kasih sayang secara verbal dan fisik — memeluk, memberi pujian, atau sekadar berkata “Ayah bangga sama kamu.” Tindakan kecil seperti ini dapat membangun ikatan emosional yang kuat.
Karena sejatinya, kehadiran ayah bukan diukur dari seberapa banyak uang yang dibawa pulang, melainkan dari seberapa hangat anak merasa dicintai dan didampingi setiap harinya.
