YOLO vs YONO: Gaya Hidup Finansial Anak Muda, Antara Nikmati Sekarang atau Amankan Masa Depan

Panoramic Banten. Dalam beberapa tahun terakhir, dua pendekatan gaya hidup finansial yang kontras makin populer di kalangan generasi muda: YOLO (You Only Live Once) dan YONO (You Only Need One). Keduanya mencerminkan cara pandang berbeda dalam mengelola uang dan menetapkan prioritas hidup.
YOLO mendorong individu untuk menikmati hidup saat ini, mengejar pengalaman, dan memaksimalkan kesenangan bahkan jika itu berarti mengorbankan tabungan. Gaya ini terlihat dari meningkatnya pengeluaran untuk traveling, kuliner, hingga pembelian barang-barang mewah meski dilakukan secara kredit atau paylater.
Sebaliknya, YONO muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran akan ketidakpastian ekonomi. Prinsip “cukup satu” ini menekankan hidup minimalis, hemat, dan penuh pertimbangan. Para penganut YONO lebih fokus pada investasi jangka panjang, kepemilikan terbatas namun berkualitas, serta gaya hidup yang tidak konsumtif.
Dosen ekonomi dan bisnis, Ambu Asih, menjelaskan bahwa tren ini muncul karena tekanan sosial, perkembangan teknologi, dan perubahan nilai hidup. “Generasi muda saat ini hidup di era banjir informasi dan media sosial. YOLO muncul karena ada dorongan untuk membuktikan eksistensi dan menikmati hasil kerja dengan cepat. Tapi di sisi lain, muncul juga kesadaran bahwa hidup tidak selalu bisa ditebak, sehingga lahirlah gaya YONO yang lebih rasional,” ungkapnya.
Asih menambahkan bahwa keduanya tidak salah, namun perlu dikombinasikan secara bijak. “YOLO boleh, asal tidak membuat kita terjerat utang. YONO bagus, tapi jangan sampai membuat hidup terasa hampa. Kuncinya ada di keseimbangan dan literasi finansial.”
Bagi generasi muda, memilih antara YOLO dan YONO bukan soal benar atau salah, tapi bagaimana menyelaraskan gaya hidup dengan tujuan finansial jangka panjang. Karena pada akhirnya, hidup hanya sekali dan masa depan juga hanya satu.