Panoramic Banten.  Sikap lemah lembut dan tutur kata pelan sering kali diasosiasikan dengan pribadi yang bijak, sabar, dan dapat dipercaya. Namun, tak semua yang terdengar lembut membawa niat yang tulus. Fenomena "false soft-spoken" mulai menjadi sorotan di kalangan psikolog dan pengamat perilaku sosial, di mana gaya bicara yang tenang digunakan sebagai topeng untuk menyembunyikan sifat manipulatif. 

Menurut psikolog klinis, ada individu yang secara sadar membangun citra sebagai pribadi "soft-spoken" untuk meraih simpati, menghindari konflik terbuka, atau bahkan mengontrol situasi secara halus. Mereka mungkin jarang marah secara terang-terangan, namun pandai menyisipkan kalimat pasif-agresif, membolak-balik fakta dengan cara yang terdengar sopan, dan menciptakan rasa bersalah pada orang lain tanpa harus meninggikan suara. 

“Banyak orang terkecoh, mengira kelembutan suara adalah tanda karakter baik. Padahal, dalam kasus tertentu, itu hanya strategi komunikasi untuk mendapatkan kepercayaan dan pengaruh,” ujar Dr. Mira Astuti, Psikolog Sosial dari Universitas Indonesia. 

Fenomena ini sering terjadi dalam lingkungan kerja, pertemanan, hingga hubungan asmara, di mana pelaku bisa tampil sangat tenang di depan publik, namun sebenarnya memanipulasi dan merusak secara diam-diam. Bahkan, tidak sedikit korban yang merasa bingung dan sulit membuktikan bentuk perlakuan tersebut karena semua dibungkus dengan bahasa yang sopan dan nada suara yang rendah. 

Para ahli menyarankan masyarakat untuk lebih jeli menilai karakter seseorang, bukan hanya dari cara bicara, tetapi juga dari konsistensi tindakan dan integritasnya. Soft-spoken bukan jaminan kebaikan hati, dan suara keras bukan berarti buruk—semua harus dilihat dari konteks dan niat yang melatarbelakanginya.