Panoramic Banten. Di era tren dan gaya hidup serba visual, vape dan rokok sering kali dikemas seolah-olah jadi bagian dari gaya hidup keren dan kekinian. Warna-warni alatnya, aroma manis dari asapnya, dan citra "dewasa" yang melekat padanya membuat banyak anak muda tergoda. Padahal, semua itu hanyalah topeng—kemasan yang dirancang untuk menarik, bukan untuk melindungi.

Vape, misalnya, sering dipromosikan sebagai “versi aman” dari rokok. Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu. Kandungan nikotin, zat kimia, dan aditif lain tetap ada, dan dampaknya terhadap tubuh sama sekali tidak bisa diremehkan. Begitu pula dengan rokok biasa, yang sejak lama disisipkan dalam budaya populer sebagai simbol kejantanan atau kemandirian, padahal sejatinya menyimpan bahaya besar di balik tiap hisapan.

Fakta-faktanya jelas dan tidak bisa dibantah. Penggunaan vape maupun rokok bisa bikin napas jadi pendek, merusak paru-paru secara perlahan, mengganggu perkembangan otak terutama bagi remaja, dan memicu kecanduan yang erat kaitannya dengan gangguan psikologis seperti depresi dan kecemasan. Semua ini bukan lagi opini, tapi hasil dari berbagai riset medis yang kredibel.

Label “lebih aman” yang sering dilontarkan adalah ilusi manis—sweet lies—yang menutupi bitter truths: bahwa produk-produk ini mengandung zat berbahaya, termasuk racun dan senyawa karsinogenik pemicu kanker. Dan yang paling menyedihkan, daya tarik ini justru menjebak banyak generasi muda dalam lingkaran adiksi yang sulit dilepaskan.

Saatnya kita buka mata dan berhenti mengikuti tren yang justru merugikan diri sendiri. Menjadi keren tidak harus dengan mengikuti budaya konsumsi yang merusak. Justru, keberanian untuk bilang “tidak” pada hal yang merugikan itulah yang mencerminkan kekuatan dan kesadaran diri yang sebenarnya.

Mari jadi generasi yang lebih sadar, lebih peduli, dan lebih kritis. Bukan sekadar ikut-ikutan, tapi tahu alasan di balik pilihan. Karena keren itu bukan soal asap dan gaya—keren itu ketika kita peduli pada tubuh, pikiran, dan masa depan kita sendiri. Saatnya bilang, “Gue pilih sehat, bukan ikut tren.”