Tren Pertemanan Sehat Kembali Jadi Sorotan di Kalangan Anak Muda

Panoramic Banten. Di tengah era serba digital dan komunikasi instan, anak muda kini kembali menyoroti sesuatu yang terasa “old but gold”: pertemanan yang sehat. Bukan sekadar nongkrong bareng atau saling mention di media sosial, tapi hubungan yang suportif, saling memahami, dan bebas toxic. Tren ini mulai terlihat dari berbagai konten TikTok, podcast, hingga thread panjang di X (Twitter) yang mengangkat pentingnya menjaga mental health lewat lingkaran pertemanan yang positif
Dari 'Circle Kecil' ke 'Support System'
Kalau dulu pertemanan identik dengan geng besar dan selalu ramai, sekarang banyak anak muda justru merasa nyaman dengan circle kecil yang bisa dipercaya. Mereka lebih memilih dua atau tiga teman yang bisa jadi tempat cerita tanpa takut dihakimi. Kata kunci utamanya? Safe space. Di tengah tekanan akademik, pekerjaan, dan ekspektasi sosial, punya teman yang bisa jadi tempat "pulang" itu priceless banget.
Meninggalkan yang Toxic, Merawat yang Positif
Anak muda zaman sekarang juga lebih berani mengambil sikap terhadap pertemanan yang gak sehat. Istilah seperti "boundaries," "red flag," dan "emotional dumping" bukan lagi sekadar istilah asing—tapi jadi pertimbangan dalam membangun relasi. Banyak dari mereka yang sudah paham bahwa mempertahankan pertemanan yang menyakiti hati itu bukan loyalitas, tapi bentuk pengabaian terhadap diri sendiri.
Fenomena Healing Bareng Teman
Yang menarik, tren healing kini bergeser dari solo trip ke healing bareng teman. Mulai dari staycation, piknik kecil, olahraga bareng, sampai sekadar ngopi sambil journaling, semuanya dilakukan demi menjaga koneksi sosial yang sehat. Bahkan beberapa komunitas Gen Z di kota besar kini rutin mengadakan "teman healing circle", semacam ruang berbagi untuk saling menyemangati tanpa saling menghakimi.
Kenapa Ini Penting?
Penelitian dari Journal of Youth and Adolescence menyebutkan bahwa kualitas pertemanan di masa muda punya pengaruh besar terhadap kestabilan emosi dan kepercayaan diri seseorang di masa depan. Dengan kata lain, pertemanan sehat bukan cuma bikin kita bahagia sekarang, tapi juga membentuk fondasi untuk jadi individu yang kuat dan penuh empati.
Kesimpulan: Teman Sehat, Hidup Lebih Ringan
Tren ini jadi pengingat bahwa dalam hidup yang sibuk dan penuh tekanan, kita tetap butuh teman yang bisa diajak tumbuh, bukan sekadar yang bisa diajak seru-seruan. Jadi, yuk mulai selektif dalam memilih lingkungan sosial. Ingat, punya sedikit teman tapi berkualitas jauh lebih baik daripada punya banyak teman tapi bikin hati lelah.
Karena dalam hidup ini, punya teman yang sehat—itu bentuk self love juga.