PHK Massal di P&G: Efisiensi Digitalisasi dan Dampak Tarif Impor AS

Panoramic Banten. Perusahaan raksasa produk konsumen asal Amerika Serikat, Procter & Gamble (P&G), mengumumkan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 7.000 pegawai, yang mencakup sekitar 15% dari total tenaga kerjanya. Rencana ini disampaikan pada Kamis, 5 Juni 2025, dan akan menyasar karyawan di sektor non-manufaktur. Menurut Chief Financial Officer (CFO) Andre Schulten, proses PHK akan dilakukan secara bertahap selama dua tahun ke depan.
Langkah ini diproyeksikan mampu menghemat pengeluaran perusahaan antara US$1 hingga US$1,6 miliar atau sekitar Rp16,2 hingga Rp26 triliun, mengacu pada estimasi kurs saat ini. Schulten menjelaskan bahwa melalui transformasi digital dan otomatisasi, perusahaan melihat peluang untuk meningkatkan efisiensi, mempercepat proses kerja, serta menciptakan pengalaman kerja yang lebih bermakna bagi karyawan yang tersisa.
Dikutip dari CNBC Internasional, keputusan PHK ini juga dipengaruhi oleh kebijakan tarif impor yang diterapkan Presiden Donald Trump, yang menyebabkan meningkatnya biaya operasional dan memaksa perusahaan seperti P&G menaikkan harga jual produk. P&G pun telah menyampaikan rencana penyesuaian harga untuk tahun fiskal yang dimulai Juli mendatang.
Dalam dokumen yang diajukan ke otoritas terkait, P&G melaporkan memiliki sekitar 108.000 karyawan di seluruh dunia. Selain pengurangan tenaga kerja, perusahaan juga sedang menjalankan evaluasi terhadap portofolio produk dan efisiensi rantai pasok sebagai bagian dari restrukturisasi bisnisnya secara menyeluruh.