Menguatkan Diri Lewat Cinta: Mengapa Mencintai Diri Sendiri Kini Jadi Sebuah Kebutuhan

Panoramic Banten. Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya self-love atau mencintai diri sendiri semakin menguat di tengah masyarakat, khususnya generasi muda. Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan bentuk respons terhadap tekanan sosial yang makin kompleks—mulai dari tuntutan akademik, tekanan sosial media, hingga ekspektasi keluarga dan lingkungan kerja.
Menurut psikolog klinis dari Universitas Indonesia, Dr. Ratna Sari, mencintai diri sendiri adalah pondasi dari kesehatan mental yang stabil. “Self-love bukan berarti egois atau menutup diri dari kritik, tetapi bagaimana seseorang memahami nilai dirinya, memaafkan kesalahan, serta mampu menetapkan batasan yang sehat dalam hubungan sosial,” jelasnya dalam seminar daring bertajuk “Healthy Mind, Healthy Generation”, Selasa lalu.
Meningkatnya Kesadaran Anak Muda
Riset internal yang dilakukan oleh salah satu platform konsultasi kesehatan mental menunjukkan bahwa 7 dari 10 responden usia 18–30 tahun menyatakan sedang belajar mencintai diri sendiri. Hal ini dipicu oleh meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mental, serta dorongan untuk lepas dari budaya “people pleasing” dan perbandingan sosial yang tak sehat.
“Dulu saya merasa harus selalu tampil sempurna agar diterima. Tapi sejak mengenal konsep self-love, saya mulai belajar berkata 'tidak', memberi waktu untuk istirahat, dan menerima diri saya yang sekarang,” ujar Salsabila (24), mahasiswi pascasarjana yang aktif dalam komunitas kesehatan mental di Jakarta.
Peran Media dan Komunitas
Tak bisa dipungkiri, media sosial memiliki andil besar dalam menyebarkan pesan positif seputar self-worth, self-care, dan self-compassion. Banyak konten edukatif yang mendorong audiens untuk mengenal dan menerima dirinya secara utuh, bahkan di tengah ketidaksempurnaan.
Selain itu, muncul pula berbagai komunitas yang mengampanyekan pentingnya mencintai diri sendiri melalui diskusi terbuka, sesi journaling, hingga program pendampingan konseling.
Lebih dari Sekadar Tren
Self-love kini tidak lagi dianggap sebagai bentuk kemewahan emosional, melainkan sebagai keterampilan hidup yang penting. Menurut data WHO, ketidakseimbangan antara ekspektasi sosial dan penerimaan diri menjadi salah satu pemicu utama depresi dan kecemasan di kalangan usia produktif.
“Mencintai diri sendiri bukan tentang memanjakan diri, tapi tentang menghargai hidup dengan penuh kesadaran. Inilah bekal agar kita mampu membangun hubungan sosial yang sehat, bekerja lebih produktif, dan menjalani hidup tanpa beban yang berlebihan,” tutup Dr. Ratna.
Masyarakat kini dihadapkan pada pilihan penting: terus hidup di bawah tekanan ekspektasi, atau mulai menumbuhkan cinta dari dalam diri. Di tengah dunia yang cepat dan penuh penilaian, mencintai diri sendiri adalah bentuk perlawanan yang paling lembut—namun paling berani.