Panoramic Banten. Pemerintah Indonesia resmi menyiapkan langkah strategis untuk menerapkan program biodiesel B50 pada tahun 2026. Program ini merupakan bagian dari komitmen nasional dalam mengurangi ketergantungan terhadap impor solar sekaligus memperkuat ketahanan energi berbasis sumber daya domestik. B50 sendiri merupakan campuran bahan bakar dengan 50% minyak nabati (biodiesel) dan 50% solar fosil, yang dipandang lebih ramah lingkungan dan efisien.
 
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, peluncuran B50 akan menjadi kelanjutan dari keberhasilan implementasi B30 dan B35. Program ini diharapkan mampu menghemat devisa negara hingga miliaran dolar AS per tahun dari pengurangan impor bahan bakar minyak. Selain itu, B50 juga membuka peluang besar bagi petani kelapa sawit sebagai pemasok utama bahan baku biodiesel.
 
“Penerapan B50 adalah momentum penting bagi Indonesia menuju kemandirian energi,” ujar Menteri ESDM dalam konferensi pers di Jakarta. Ia menegaskan bahwa program ini tidak hanya soal penghematan impor, tetapi juga transformasi ekonomi hijau yang berkelanjutan. Pemerintah menargetkan distribusi awal B50 untuk sektor transportasi dan industri besar pada pertengahan 2026.
 
Sejumlah pengamat energi menilai kebijakan ini sebagai langkah progresif yang sejalan dengan tren global menuju energi bersih. Namun, mereka mengingatkan pentingnya menjaga stabilitas pasokan minyak sawit mentah (CPO) agar tidak berdampak negatif terhadap harga pangan dan ekspor. Pemerintah diharapkan dapat menyeimbangkan antara kepentingan energi, lingkungan, dan ekonomi rakyat.
 
Dengan penerapan B50, Indonesia semakin mempertegas posisinya sebagai pelopor energi hijau di Asia Tenggara. Langkah ini tidak hanya memperkuat kemandirian energi nasional, tetapi juga membuka lapangan kerja baru di sektor pertanian, industri biodiesel, dan riset energi terbarukan — menjadikan transisi energi sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.