PANORAMIC BANTEN

HEDONIC VS FRUGAL LIVING

24 April 2025
HEDONIC VS FRUGAL LIVING

Serang, 21 april 2025, Di era digital yang serba cepat dan penuh pencitraan, gaya hidup hedonis kini bukan hanya tren—tapi sudah menjadi jebakan nyata bagi banyak orang. Terutama generasi muda dan masyarakat urban, yang rela mengorbankan kebutuhan pokok demi tampil "layak" di media sosial. Bayangkan, sekarang bahkan iPhone bisa disewa. Pertanyaannya: apakah benar kita sebegitu haus validasi, hingga harus terlihat "wah" di Instagram, TikTok, atau status WhatsApp, meski harus berutang lewat pinjaman online (pinjol)?


Fenomena ini tidak datang sendiri. Ia berjalan beriringan dengan kemudahan berbelanja secara online, hadirnya fitur live streaming shopping, dan tentu saja—godaan paylater. Belanja pun kini tak butuh uang di tangan. Cukup klik, bayar nanti. Mudah? Iya. Tapi juga berbahaya. Hasilnya, banyak orang belanja tanpa berpikir panjang. Sebuah kebiasaan konsumtif yang pelan tapi pasti membuat mereka terlilit cicilan dan mengorbankan kebutuhan pokok, seperti biaya makan, pendidikan anak, hingga tagihan penting lainnya.


Yang lebih mengkhawatirkan, gaya hidup ini mulai menjangkiti anak-anak remaja. Tontonan media sosial, konten influencer, dan tren pamer barang branded membuat mereka terpapar nilai-nilai hedon sejak dini. Mereka tumbuh dengan pikiran bahwa "yang keren itu mahal," padahal belum tentu sesuai kebutuhan atau kemampuan. Di tengah arus ini, muncul satu perlawanan: frugal living. Sebuah gaya hidup yang mulai digaungkan kembali oleh mereka yang sadar bahwa hidup tidak selalu harus mewah, tapi cukup dan bermakna.


Frugal living mengajarkan kita untuk:

  • Mengutamakan kebutuhan daripada keinginan.
  • Membeli barang yang tahan lama, bukan sekadar tren.
  • Hidup sesuai kemampuan, bukan demi gengsi.
  • Dan yang paling penting: bijak dalam mengelola keuangan diri sendiri.

Pertarungan antara frugal dan hedon ini kini jadi panggung besar di masyarakat. Dan kita semua adalah aktornya. Pilihannya ada di tangan masing-masing: ingin hidup tenang tanpa cicilan, atau terlihat mewah tapi dalam tekanan?

Di tengah arus deras konsumsi dan tren gaya hidup, dua kutub perilaku sering menjadi perbincangan hangat: hedonic living dan frugal living. Keduanya menawarkan cara pandang yang berbeda tentang bagaimana seseorang membelanjakan uang, memaknai kepuasan, dan meraih kebahagiaan. Lalu, mana yang lebih baik? Atau justru keduanya bisa saling melengkapi? 

Asih Kurnianingsih, SE.,MM

Hedonic living adalah gaya hidup yang mengutamakan kenikmatan, kepuasan, dan pengalaman emosional. Orang dengan kecenderungan ini biasanya menikmati makan di restoran mahal, traveling ke tempat eksotis, membeli barang bermerek, hingga mengejar tren terkini. Prinsipnya sederhana: hidup hanya sekali, jadi nikmati semaksimal mungkin. 

Sebaliknya, frugal living atau hidup hemat lebih menekankan pada efisiensi pengeluaran, minimalisme, dan perencanaan jangka panjang. Orang yang menganut gaya hidup ini tidak serta-merta pelit, tapi sangat selektif dalam membelanjakan uang. Mereka lebih memilih memasak di rumah, menabung, dan hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan. 

Keduanya sama-sama bisa membawa kebahagiaan, tergantung dari sudut pandang dan nilai hidup yang dipegang. Hedonis merasa puas saat bisa menikmati hasil kerja kerasnya melalui pengalaman dan barang yang menyenangkan. Sementara itu, frugal merasa damai karena memiliki kendali atas finansial dan merasa cukup dengan hal-hal sederhana. 

Namun, keduanya juga memiliki risiko masing-masing. Gaya hidup hedonis bisa membuat seseorang terjebak dalam pola konsumtif tanpa kendali, berujung pada stres keuangan atau impulsive buying. Di sisi lain, frugal living yang ekstrem bisa menimbulkan ketakutan berlebihan untuk membelanjakan uang, hingga kehilangan kesempatan menikmati hidup. 

Perbedaan keduanya juga mencerminkan pandangan jangka pendek vs jangka panjang. Hedonis sering kali mengejar instant gratification, sedangkan frugal lebih fokus pada kestabilan masa depan. Dalam konteks keuangan, frugal living cenderung lebih tahan banting terhadap krisis karena adanya tabungan dan perencanaan. 

Lantas, apakah harus memilih salah satu? Tidak juga. Banyak orang kini memilih gaya hidup mindful spending—menggabungkan dua pendekatan dengan bijak. Contohnya, menikmati liburan satu tahun sekali sebagai reward, sambil tetap hidup hemat di hari-hari biasa. Intinya, sadar akan tujuan finansial dan emosi saat berbelanja. 

Di era digital saat ini, tekanan sosial dari media juga turut memengaruhi pilihan gaya hidup. Feed media sosial yang penuh kemewahan bisa memicu FOMO dan dorongan untuk hidup hedonis. Namun di sisi lain, tren minimalisme dan decluttering juga mulai mendapat panggung, mengajak orang untuk hidup lebih simpel dan sadar makna. 

Akhirnya, baik hedonik maupun frugal bukanlah soal benar atau salah, melainkan soal kesadaran diri. Apakah pilihan hidup kita membawa kedamaian atau justru kecemasan? Apakah kita menghabiskan uang untuk memuaskan ego, atau untuk membangun hidup yang bermakna? Jawabannya hanya bisa ditemukan dengan jujur melihat ke dalam diri. 

Saatnya kita berhenti menjadikan media sosial sebagai alat ukur kebahagiaan. Sebab, validasi terbaik adalah ketika kita mampu hidup damai dengan diri sendiri, tanpa beban yang tak perlu.

HEDONIC VS FRUGAL LIVING