PANORAMIC BANTEN

Di Balik Gelombang Aksi: Gaji DPR, Kekerasan Aparat, dan Perang Narasi

30 August 2025
Di Balik Gelombang Aksi: Gaji DPR, Kekerasan Aparat, dan Perang Narasi

 Panoramic Banten. Gelombang demonstrasi di sekitar Kompleks DPR/MPR pada 25–31 Agustus 2025 bermula dari kemarahan publik atas gaji dan tunjangan anggota DPR, khususnya tunjangan rumah Rp50 juta/bulan dan wacana kenaikan gaji. Ribuan mahasiswa dan warga berkumpul di Senayan serta kota-kota lain, memprotes jarak yang makin menganga antara elite politik dan kondisi ekonomi rakyat. Aparat menutup ruas jalan utama; gas air mata dan water cannon dikeluarkan untuk membubarkan massa. Benturan pun tak terhindarkan sebuah potret krisis kepercayaan yang meledak di jalanan ibu kota.

Di lapangan, isu kesejahteraan dan transparansi anggaran menjadi pemantik utama. Publik menuntut pembekuan kenaikan gaji/tunjangan DPR, pembatalan fasilitas baru (termasuk skema pensiun), serta keterbukaan gaji, tunjangan rumah, dan seluruh fasilitas legislator. Serangkaian daftar tuntutan yang viral sering disebut “17+8 tuntutan rakyat” merepresentasikan kegelisahan lebih luas: audit etik terhadap anggota bermasalah, penguatan peran lembaga pengawas, sampai penghentian praktik yang dinilai mempertebal privilese politik. Tuntutan itu beredar cepat di kanal-kanal media dan menjadi bingkai utama narasi aksi.
 
Namun, eskalasi kekerasan membuat gelombang protes beralih rupa menjadi krisis kemanusiaan. Publik dikejutkan oleh tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat kericuhan peristiwa yang menyulut duka sekaligus amarah. Tujuh anggota Brimob kemudian dikenai penempatan khusus (patsus) 20 hari atas pelanggaran etik, tetapi tuntutan investigasi independen dan akuntabilitas pidana tetap menguat di ruang publik. Tragedi ini menandai salah satu permasalahan inti demo: dugaan ekses kekerasan negara dan akuntabilitas penegakan hukum yang dinilai lemah.

Di saat bersamaan, pemerintah menyorot arus disinformasi dan konten berbahaya yang dinilai ikut memanaskan situasi. Kementerian terkait memanggil TikTok, Meta (Instagram), dan platform lain untuk memperketat moderasi konten, dengan opsi sanksi bagi yang abai. Langkah ini memunculkan perdebatan baru: bagaimana menjaga ruang digital tetap sehat tanpa mereduksi kebebasan berekspresi yang justru vital bagi demokrasi. Sementara itu, ibu kota memperketat pengamanan checkpoint dan penjagaan berlapis untuk mengantisipasi lanjutan aksi, menegaskan bahwa krisis ini belum benar-benar mereda.

Pada akhirnya, permasalahan demo mengerucut pada tiga simpul: (1) ketimpangan dan privilese politik (gaji/tunjangan DPR dan transparansi anggaran), (2) akuntabilitas aparat (tragedi Affan dan dugaan kekerasan berlebihan), serta (3) ekologi informasi (banjir hoaks vs. regulasi platform). Tanpa respons yang jelas mulai dari menguji kebijakan tunjangan, mengusut tuntas kekerasan, hingga merapikan tata kelola ruang digital api ketidakpercayaan akan terus menyala. Publik menunggu komitmen konkret dari pemerintah dan DPR, bukan sekadar pernyataan normatif, agar jarak antara rakyat dan wakilnya tak semakin sulit dijembatani.
 

Di Balik Gelombang Aksi: Gaji DPR, Kekerasan Aparat, dan Perang Narasi